oleh Ahmad Hadian Kardiadinata pada 24 Oktober 2011 jam 22:57
“Nama saya Umar.... ustadz, Umar Akhir Zaman ! Saya suka dengan beberapa bagian khutbah Jum’at ustadz tadi” begitu katanya sambil erat menggenggam telapak tangan ku. Agak ter heran aku mendengar nama orang ini..”Umar Akhir Zaman”.
“Ahlan akhi, maaf kalau tadi agak keras. Bagaimana kabar keimanan anda hari ini?” Tanyaku, sedikit meniru tata cara menyapanya para Salafush sholih.
“O gak apa-apa ustadz memang harus begitu, Rasulullah kalau khutbah bahkan seperti panglima perang yang sedang memberikan komandonya dimedan laga, suaranya lantang dan wajahnya memerah seperti orang marah. Kalau kabar iman saya….Biasa lah ustadz, kadang hidup kadang mati” Suaranya datar tanpa beban, sedatar senyumnya yang menurutku sih agak sinis.
“Wah jangan sampai mati dong !” Sergahku cepat-cepat.
“Begitulah adanya ustadz…kalau para Sahabat Nabi dahulu, imannya turun naik macam harga Sawit. Tapi kalau kita sekarang hidup mati macam nasib rakyat kecil”. Singkat tapi padat penjelasannya meskipun kesannya cenderung vulgar, agak tidak sinkron dengan jenggot nya yang dibiarkan panjang dan kostum gamis tanggung dan celana ngatung nya.
“Nastaghfirullah…..” Kataku..mencoba dgn kalimat selirih mungkin.
“Maka beginilah kami, dari masjid ke masjid menyisihkan sedikit waktu utk menjaga iman kami tetap hidup. Kalau kami dirumah saja….kami takut iman ini mati”.
“Iman ini bisa tinggi kalau dunia kita rendahkan ustadz, sebaliknya iman akan rendah kalau dunia selalu kita tinggikan. Saya kadang malu menyandang nama besar Umar ini…sebab saya tidak sebaik Umar bin Abdul Aziz apalagi jika dibanding dengan Al Faruq, Umar bin Al Khothob. Mereka adalah para pemenang yang telah mampu mengalahkan buasnya dunia, sedangkan saya hanya Umar Akhir Zaman…yang sering kali kalah oleh kebuasan dunia”. Dia menambahkan, sembari tetap menggenggam telapak tanganku erat dan sesekali menguncang-guncangnya..sementara aku serius menyimak setiap kalimatnya yang lugas.
Dalam hati aku bergumam “Benar juga semua yang diucapkan orang ini, baru aku ngeh dengan nama yang diperkenalkannya”, tak terasa mataku berkaca-kaca.
Kami berangkulan erat sebelum berpisah….
“Tak usah berkecil hati Saudaraku, kita memang tak sebaik para sahabat karena zaman kita sekarangpun tak sebaik zamannya sahabat…dan karena guru kita pun tak sebaik gurunya para sahabat Rodhiyallahu anhum…(Rasulullah SAW), asalkan kita tetap menjadi pecinta sunnah beliau insya Allah kita akan tetap jadi orang baik” Kataku memungkas percakapan.
Ditengah jalan pulang hatiku masih dilekati dengan sisa-sisa nasihatnya yang tajam, sebagimana aroma tajam parfum non alkohol yang dipakai si Umar yang sudah berpindah melekat di gamisku.
“Terima kasih ya Robb…Engkau telah mengirim orang itu kepadaku…!”
(Hadian Abu Ghozy Fillah)
Rahman Efendi Ar, Khoir Rambe, Sri Pangastuty dan 11 lainnya menyukai ini.
1 berbagi ini
Nazrul Ahmad Subhanallah...
25 Oktober jam 18:05 · Suka
Mukhlis Mirza Siregar suatu pljrn yg sarat makna akhi, Subhanallah...
25 Oktober jam 20:55 · Suka
Muheri Abdullah saran: cerita diatas bisa jd inspirasi awal membuat sebuah novel berjudul Ta'aruf kecil di Teras Mesjid...lanjutkan akhi...
26 Oktober jam 15:13 · Suka
Sri Pangastuty subhanallah.....terima kasih pelajaran yg sangat berharga buat saya Ustadz
27 Oktober jam 0:22 · Suka
Ahmad Hadian Kardiadinata
Muheri Abdullah : Novel ?? hehehe. Saya ini sebenarnya sdh mulai menulis cerita sejak kelas 2 SMP akhi, cuma mmg tdk terpublikasikan krn maklum dulu anan tinggal di kampung. Wkt SMA ada beberapa Puisi saya yg dimuat di sebuah koran (itupun...Lihat Selengkapnya
27 Oktober jam 9:42 · Suka
Ahmad Hadian Kardiadinata All : thanks dukungannya...
27 Oktober jam 9:43 · Suka
Ta’aruf Kecil di Teras Masjid : “Nama saya Umar Akhir Zaman….”
Puasa Tapi Pacaran..................
(Sebuah Catatan Ahad Pagi Ramadhan 1432 H)
Minggu pagi 14 Agustus 2011 / Ramadhan ke 14, agak bergegas aku mempersiapkan diri untuk sebuah perjalanan dakwah, mengisi Taklim Ahad Dhuha disebuah Desa yang terletak hampir di perbatasan antara Kabupaten Batu Bara dengan Kabupaten Simalungun. Desa yang tentram menurutku, berada diantara rimbunan pepohonan dan perkebunan kelapa sawit jauh dari hingar-bingar kendaraan bermotor. Yang banyak terlihat justru iring-iringan sapi gembalaan milik penduduk, agak nampak “kontras” dengan cukup banyaknya rumah-rumah permanen yang cukup megah dengan desain modern.
Kusiapkan materi dalam Laptop -yang sudah 4 tahun ini selalu setia menemaniku-, proyektor dan ..ups..ternyata screennya belum ada. Alhamdulillah seorang ustadz bermurah hati meminjamiku.
Sahabat2 yang telah dijadwalkan akan mendampingiku entah kenapa pada hari itu semuanya berhalangan karena mereka masing2 punya agenda yg tidak bisa ditinggalkan.
Akhirnya aku mengajak seseorang untuk bersedia mendampingiku dalam perjalanan itu.
Acara taklimnya sendiri alhamdulillah berjalan normal seperti biasa, dimulai sekitar jam 09.00 dengan Shalat Dhuha bersama, ada beberapa sambutan dari Kepala Desa & Tokoh Masjid setempat lalu giliranku mengisi materi.
Yang istimewa pada agenda kali ini adalah, aku begitu menikmati perjalanan ini. Obrolan-obrolan yang asyik sepanjang perjalanan diselingi canda tawa kala melintasi rimbunan pohon-pohon sawit dan karet, telah membuat hati kami berbunga-bunga. Betapa tidak, kali ini yang duduk disampingku adalah seorang wanita. Dia istriku tercinta....,wanita yang setiap kali kalau aku ta’arruf sebelum memulai berceramah selalu kuperkenalkan kepada jamaah bahwa “istri saya empat...anaknya”. Seringnya jamaah ibu-ibu spontan merespon..”Uuuhhhhh” sambil tertawa, sebab dengan kalimat yang pemenggalannya dibuat agak tidak normal itu mereka mendengarnya seolah istriku ada empat. Ah itu sekedar trik saja untuk memancing perhatian mustami’.
Yah hanya dia kawan seiring hari itu, sebab anak-anak tidak kami ajak serta. Entah kenapa hari itu kami hanya ingin berdua.
Jadilah perjalanan kali ini perjalanan yang sarat dengan kenangan...seolah mengulang masa-masa pacaran 15 tahun silam ketika pertama kali kami bersama dalam ikatan pernikahan..kemana-mana hanya berdua sebelum ada di Si Teteh -anak pertama kami-.
Ketika seorang jamaah bertanya tentang yang dilarang ketika berpuasa.....sambil berseloroh aku menjawab; “Berpacaran itu gak puasa pun memang sudah terlarang, kecuali pacaran dengan istri tercinta. Cuma kalau sedang puasa ya harus tahu juga batasan-batasannya agar tidak sampai membatalkan puasa kita...seperti kami (aku dan istri) tadi sepanjang jalan kami pacaran....”
Ketika aku menuliskan kisah perjalanan ini, aku baru sadar bahwa bulan ini Agustus 2011 (tepatnya 31 Agustus) adalah genap 15 tahun pernikahan kami. Subhanallah................
Terima kasih ya Robbana..Engkau telah mengaruniakan ku seorang istri yang setia mendampingi perjalanan hidupku.....Di hari-hari mustajab do’a dibulan mulia ini, ijinkan kami berharap...”Kekalkan kebersamaan ini dijalan dakwah dan ridho Mu, dan persatukan kami kembali kelak di Jannah Mu bersama semua buah hati kami...dan sekalian orang-orang mukmin!”
Robbana: hablana: min azwa:jina wa dzurriyyatina: qurrota a’yunin..waj’alna: lil muttaqi:na ima:ma:, Aamin.
...untuk 15 tahun pernikahan kami.
Kepada Diriku Sendiri dan Saudaraku

No one Perfect...My Brother !
Saya jadi teringat akan kisah "Sebutir Pasir Didalam Kaos Kaki". Bagaimana seorang pemanjat tebing yang berpengalaman bisa gagal menaklukan tebing terjal yang sudah menjadi langganannya, bukan karena ia tak punya peralatan lengkap, bukan pula karena kurang latihan dan pemanasan, bukan pula karena tak siap mental......tetapi hanya karena ia tidak hati-hati ketika ia mengenakan kaus kaki sebelum berangkat.
Ternyata didalam kaus kakinya terdapat sebutir pasir yang terselip diantara jari-jari kakinya.
Semakin aktif ia melangkah menapaki terjalnya tebing curam itu, semakin tinggi ia mampu mendaki, peluh pun mulai membasahi sekujur tubuhnya. Dan saat itulah sang sebutir pasir itu "menemukan momentumnya". Dengan gesekan-gesekan halus namun intens...sebutir pasir itu telah dengan perlahan menimbulkan rasa sakit yang kian lama kian sangat mengganggu, tidak seberapa memang sakitnya tetapi cukup membuat konsentrasi sang pemanjat tebing buyar....dan...iapun jatuh terpelanting dari ketinggian...Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un.
Musibah seperti ini bisa menimpa siapapun dari kita, sebab kita bukan manusia sempurna. Serapi apapun kita persiapkan diri kita, terkadang masih saja ada yg terlewatkan.
Ayyuhal Ikhwah.....mari kita jadikan segala sesuatu yang terjadi depan mata kita sebagai Ibroh, agar kita semakin dewasa dalam melangkah. Terlebih dengan beban amanah yang semakin sarat dipundak kita.
Semoga masih ada tali yang telah terpasang dimana kita bisa bergelayut, ketika suatu saat musibah ini menimpa kita.
103. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS Ali Imran:103)
Kidung Sang Pendosa

Tadi malam, setelah lingkaran itu usai,
setelah satu persatu sahabat beranjak...
aku menekuri kembali kata perkata yg tadi aku titipkan pada mereka.
Bagai gerimis sinar bulan sabit itu ya Tuhan...
merasuki hati yang basah berpeluh...
tanpa lelah memohon.
Engkau tutupilah tetap aib diri ini...
bagai pekat malam atas rembulan,
biar tak jadi jelaga diwajah dakwah.
Dan aku tetap nikmati sakitnya menebus dengan langkah-langkah pasrah...
hingga batas telapak kaki MU.
untuk KAU campakkan aku dalam jurang ridho MU.
Seperti titah MU, "Memintalah...Aku berikan!!!"
Dimana air mata Al Faruq..yg dulu kerap tertumpah sederas sesal???
ingin kubasuh jasad ringkih ini disitu, seraya bertelanjang dari kemuliaan...yang Engkau sedikit berikan
Yaa Salaam...aku jauh lebih buruk dari itu...
hingga pantas..kehinaan itu bagiku.
Lihatlah..
Peluh dan air mata ini bersekutu dikubangan kecil bekas jejak-jejak kakiku
Dan aku tetap nikmati sakitnya melangkah dijalan ini...
asalkan..Engkau tak murka wahai Kekasih.
Karena Junjungan ku ada bersabda: "Satu orang saja berubah dengan hidayah karenamu, itu lebih baik bagimu daripada dunia dan seisinya".
Indrapura, Batu Bara : 05042011
Entah Apa Ini Namanya ??
Inginnya kususun serpihan hati ini jadi mozaik
yg menjelaskan bahwa cinta ini milikku jua, walau abstrak.
Lantas kemana wasiat seribu makna yg kutinggalkan diantara guguran kelopak mawar jingga suatu senja?
Harap ini masih tanpa pigura.
Tak berbatas. entah kan berhenti dimana?
Ya muara itu niscaya,
tapi aku bagai sungai yang harus mengarungi berbilang ngarai.
Terkadang jeram yang perih....berbatu tajam mencabik arus.
Sedangkan beban dipunggungku begitu sarat, kayu dan ranting2, sampah dan limbah...
telah membebat langkah...mengirit debit...Mampukah sampai disana?????
133. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,134. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun s...empit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.136. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.(QS Ali Imran)
Itulah sungai rinduku, itulah limbah bebanku, itulah muara harapku....
cinta..biarlah mengalir begitu adanya menuju sang Maha Pencinta..
dan aku hanya terus bermohon...jangan padamkan matahari...diri Mu yang Ghofar, agar tetap ada bayang-bayang, dimana sekujur aib ditubuh ini kusembunyikan.
Indrapura, Batu Bara 05042011






